Mudik, menyambung Narasi untuk Kopi Pagaralam

Mudik tak pernah gagal menghadirkan cerita dan perspektif baru bagi setiap orang, tak terkecuali mereka yang berada di dalam lingkup pergaulan kopi. Entah itu para petani, pekerja seduh, atau sekedar penikmat kopi. Perjalanan mudik ke kampung halaman mungkin bisa menjadi momen mengistirahatkan tubuh dari segala rutinitas dan ketergantungan terhadap kafein secara lahir dan batin. Hanya saja, hal itu sulit berlaku bila kampung halaman anda adalah daerah penghasil kopi, seperti Kota Pagar Alam.

Alih-alih membuat diri lupa sejenak, mudik ke pagaralam malahan semakin memperkuat pertalian emosi anda dengan minuman yang berasal dari tumbuhan perdu ini. Rutinitas pekerjaan mungkin menyisakan sedikit waktu untuk anda menyesap secangkir kopi dan beranjak dengan setangkup energi. Akan halnya waktu mudik yang begitu luang, memungkinkan anda untuk menenggelamkan diri di balik dedaunan kopi, mencium wangi bunganya, hingga mencicipi manisnya buah yang ranum. Sebuah pengalaman tak ternilai yang membuat siapapun yang hadir di sana ingin berbagi. Sembari menaruh harapan agar kopi menjadi narasi yang tak pernah terlupakan dari Kota PagarAlam.

Kopi Pagaralam yang mayoritas berjenis Robusta (Coffea canephora) ini memang sangat rentan untuk karam bersama sejarah. Meski terkenal sebagai lumbung kopi sumatera, siapapun pasti kesulitan mencari jejaknya. Sulit yang dimaksud bukan untuk mencari kopi bermerk “Pagaralam”, tetapi untuk mencari keunikan cita rasa dan kenikmatan yang konon digandrungi oleh Ratu Yuliana, beratus tahun silam (link: http://kopikeliling.com/news/malangnya-kopi-pagaralam.html).

Menikmati secangkir kopi “asalan” – kopi yang berkualitas rendah – di tengah lebat rimbunnya kopi di Pagaralam adalah anomali yang diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya wajar bila kopi pagaralam masih sulit bersaing secara nasional maupun global. Budaya ngopi sejatinya mengalami penyesuaian seiring meningkatnya kualitas pendidikan, pengalaman, dan interaksi sosial masyarakat yang ada di dalamnya (link: https://www.academia.edu/4968435/Coffee_Culture_Local_Experiences_Global_Connections) . Oleh karena itu, masa depan kopi pagaralam tak mungkin membaik tanpa kehadiran generasi muda yang menghargai kopi secara lebih layak.

 

Adapun yang bisa ditemukan saat ini di Pagaralam seolah menjawab harapan tadi. Salah satunya adalah kemunculan kedai-kedai yang menyajikan espresso dan menu turunannya. Menu yang biasa ditemukan di kafe “mahal” seperti Cappucino, Latte, bahkan bisa dijumpai di booth sederhana seperti Kedai Kopintel yang terletak di sudut jalan Mayor Ruslan. Meskipun belum memahami benar kaidah-kaidah di balik pembuatan espresso, keberanian Pintel, pemuda di balik usaha ini, cukup layak diberi apresiasi. Terutama karena upayanya memperoleh biji kopi terbaik dari pagaralam dan menyangrainya sendiri agar standar mutunya tetap terjaga.

Sementara di sektor hulu, akan kita temukan pemuda inspiratif seperti Gerut Halibi, seorang petani kopi yang mencoba berbagai teknik pengolahan pasca panen (link: http://alamtani.com/biji-kopi.html ) untuk menemukan karakter “misterius” yang selama ini dicari dari Kopi Pagaralam. (Kisah tentang Gerut dan eksperimen yang beliau jalani akan kami ceritakan pada artikel berikutnya – red)

 

Menaruh harapan boleh saja, tapi kurang rasanya bila tidak disertai dengan kontribusi nyata. Anda pun bisa terlibat dalam memajukan kopi di Pagaralam. Caranya? Mampirlah ke kedai yang menyajikan kopi golongan asal (single origin) dari Pagaralam, seperti Kedai Coffeephile, ceritakan pengalaman anda bersama secangkir hangatnya. Dengan begitu Kopi Pagaralam tak akan hilang sebagai penggerak ekonomi serta narasi yang melekat di lidah dan hati peminumnya.

*kontributor
Maliqi Utama Putra
Program Studi Biologi
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati
Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No.10 40135
Mobile: +681379380135
email: maliki.utama@gmail.com

 

Tinggalkan komentar